Mantan KSAD Jenderal (Purn) Pramono Edhi Wibowo |
Posisi penting di parpol berlambang berlian biru itu langsung menghampirinya: anggota Dewan Pembina. Ketua Dewan Pembina, jabatan yang menentukan hitam-putih kebijakan partai, adalah Presiden SBY, yang juga merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Partai. Sekretaris partai dijabat putra kedua Presiden SBY, yakni Edhie Baskoro Yudhoyono, yang biasa dipanggil “Ibas”.
Karir militer perwira lulusan Akabri 1980 ini terbilang lengkap. Putra Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo yang menjulang namanya karena pemberantasan pemberontakan G 30 S/PKI ini pernah menduduki posisi Komandan Jendral Kopassus, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, dan Pangdam III Siliwangi. Mas Edhie, begitu ia kini menyebut dirinya, pernah juga menjadi ajudan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Pengangkatannya sebagai KSAD sempat menuai kritik, muncul anggapan dia dipilih karena faktor nepotisme. Kesan ini pula yang mencuat saat ia memutuskan terjun menjadi salah satu calon presiden yang berlaga dalam konvensi yang digelar Partai Demokrat. Konvensi yang diikuti 11 kandidat akan mencari calon presiden andalan Demokrat pada Pemilu 2014.
"Saya terpanggil untuk berkontribusi meningkatkan elektabilitas partai yang kini tengah disorot kinerjanya," ujar Pramono Edhie saat berbincang dengan Uni Z Lubis, Pemimpin Redaksi VIVA.co.id bersama tim Cakrawala ANTV di Media Center Pramono Edhie Wibowo, kawasan Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Rumah besar yang kini menjadi tempatnya berkantor, sebelumnya seringkali digunakan untuk rapat Sekretariat Gabungan (Setgab), koalisi parpol pendukung pemerintahan SBY. Minggu malam (1 Desember) wawancara tambahan terkait isu penyadapan pejabat tinggi negara oleh intelijen Australia yang mengguncang Tanah Air dilakukan via telepon. Saat itu Pramono Edhie tengah berada di Cipanas, bertemu dengan tim Partai Demokrat. Berikut petikan wawancaranya:
Presiden SBY, Ibu Negara, dan sejumlah pejabat tinggi Indonesia disadap intelijen Australia. Tanggapan Anda?
Indonesia menganggap Australia itu negara sahabat. Begitu pula pernyataan pemerintahan mereka selama ini. Sahabat kok menyadap? Kalau ingin dapatkan informasi mbok ya bertanya saja langsung, tidak perlu menyadap. Itu namanya tidak ada “trust”.
Penyadapan dianggap hal biasa juga, bahkan menurut pengakuan mantan petinggi lembaga intelijen, Indonesia pernah lakukan hal yang sama terhadap pihak Australia. Yang lantas digugat adalah kemampuan kita mengamankan komunikasi Presiden. Mampukah kita?
Baik dalam berkomunikasi, membangun sistem penangkalan atas intersepsi pihak lain terhadap komunikasi kita, apakah komunikasi intelejen atau komunikasi Presiden, memerlukan peran teknologi. Lha, selama ini kita menggunakan teknologi mereka? Teknologi asing. Produk mereka. Tidak ada jaminan kita aman, karena bisa saja mereka justru menggunakan produk itu untuk menyadap.
Apa solusinya? Bikin sendiri? Mampukah kita?
TNI AD sudah mengembangkan komunikasi radio yang dibuat sendiri. Jadi sulit disadap pihak lain kalau komunikasi menggunakan radio. Setidaknya ini sudah dilakukan di lingkungan militer. Kalau Presiden, Ibu Negara dan pejabat kita kan menggunakan telepon seluler yang dijual komersil di pasaran. Sama seperti yang kita gunakan. Mudah disadap. Masalahnya buat apa sih negara sahabat menyadap? Pengumpulan informasi intelijen memang dilakukan untuk mengetahui apa sikap pihak yang bakal menjadi lawan. Supaya tidak kaget kalau ada gerakan terdadak. Apakah kita di Indonesia ini dianggap membahayakan bagi negara yang menyadap? Negara yang menyadap itu apa menganggap Presiden (SBY) sebagai musuh?
Sekarang dibicarakan soal pentingnya pertahanan dunia maya (cyber defense) dan membangun satelit sendiri. Sudah seberapa jauh langkah yang diambil?
Membangun satelit sendiri menurut saya sangat perlu. TNI sudah membangun cyber defense itu beberapa waktu lalu, karena yang terjadi di masa sekarang adalah ancaman perang non tradisional. Kita perlu amankan instansi dan instalasi vital, apalagi sekarang semuanya sudah komputerisasi. Rawan dibajak.
Bukan kali ini saja komunikasi Presiden bocor via penyadapan. Dulu ada kasus bocorannya rekaman percakapan telepon Presiden BJ Habibie dan Jaksa Agung Andi Ghalib. Siapa yang menurut Anda harus bertanggungjawab?
Selama menggunakan telepon seluler biasa ya rawan disadap, pintu masuknya beberapa. Siapa yang harus bertanggungjawab? Ya menurut saya intelijen yang menangani pengamanan untuk Presiden.
Kita beralih ke aktivitas politik Anda. Mengapa “Mas Edhie”? Mengapa akun Twitternya menggunakan angka 55? (akun Twitter @edhiewibowo_55 mulai berkicau sejak 3 September 2013).
Ketika aktif ke daerah setelah jadi peserta konvensi, saya merasa penyebutan “Pramono” bagi sebagian orang yang bukan orang Jawa, agak sulit. Bisa keseleo menyebutnya “Purnomo”. Setelah berdiskusi dengan tim, saya putuskan menggunakan sebutan “Edhie”, nama tengah saya. Artinya “indah”. Mudah dikenal juga. Angka 55 karena saya lahir tanggal 5, bulan 5, tahun 1955, dan saya punya lima saudara perempuan ha ha ha ha....
Dari pantauan di akun Twitter, nampaknya Anda rajin berkunjung ke daerah. Ini penugasan khusus dari Pak SBY selaku ketua umum PD?
Tujuan saya masuk partai ini adalah meningkatkan elektabilitas, dan membesarkan kembali nama besar partai yang sempat terpuruk. Caranya ya dengan turun menyambangi konstituen, bertemu dengan rakyat di daerah. Ini inisiatif saya. Apalagi setelah saya ikut konvensi, saya perlu memperkenalkan diri ke daerah. Sampai saat ini sudah 15 lokasi saya kunjungi.
Ada fasilitas dan pelayanan khusus bagi Anda dari jajaran TNI di daerah?
Wah, ini pertanyaan bagus, saya juga senang supaya masyarakat tahu. Tidak ada pelayanan khusus. Mereka hanya melihat saya mantan KSAD, mantan pimpinan. Mereka melihat saja dari jauh. Ya, saling sapa. Saya sapa mereka. Yang lebih banyak menyambut saya di daerah adalah anggota Partai Demokrat. Sebelum terjun ke daerah setelah ikut konvensi, banyak kota yang belum pernah saya kunjungi. Misalnya kota Mataram di NTB, lalu Simalungun. Banyak lah. Pekanbaru juga belum pernah saya kunjungi saat saya masih aktif di AD. Kunjungan ke daerah membuat saya merasa Indonesia itu luar biasa. Banyak budaya yang belum saya kenal. Dulu kalau berkunjung ke daerah juga terbatas mengunjungi ke area perbatasan, basis militer, kesannya homogen. Padahal Indonesia itu heterogen.
Apa temuan dari kunjungan ke daerah? Apakah masyarakat juga curhat mengenai kesulitan hidup mereka?
Saat saya berkunjung ke kampung nelayan mereka mengatakan, “Pak kami belum punya bahan bakar”. Sederhana masalahnya. Memang harus dihitung betul ketersediaan bahan bakar.
Tindak lanjutnya?
Saya sampaikan masalah itu ke ketua umum, juga ke jajaran anggota Partai Demokrat di daerah untuk membantu. Kalau belum cukup, saya komunikasikan dengan menteri terkait. Kebetulan Menteri ESDM kan dari partai kami juga. Komunikasi lebih mudah.
Setelah pensiun dari militer, Anda langsung gabung Partai Demokrat. Keinginan sendiri atau diminta Pak SBY dan Bu Ani, kakak Anda?
Prinsipnya, sampai saya mengakhiri masa dinas, pengabdian diri saya di militer tidak berkurang. Begitu juga sesudah pensiun. Saya berkomunikasi dengan Pak SBY, dan melihat ada alasan kuat untuk bergabung, karena saat itu elektabilitas (Partai) Demokrat sangat rendah. Orang bertanya kepada saya, “Kok kamu mau bergabung padahal Partai Demokrat lagi terpuruk?” Saya lakukan itu karena ingin Partai Demokrat menjadi lebih baik. Masyarakat di daerah juga masih menginginkan Partai Demokrat menjadi partai politik yang besar.
Menurut Anda, mengapa elektabilitas Partai Demokrat turun?
Ya, ada beberapa hal yang dilakukan oleh anggota Partai Demokrat yang masyarakat sudah tahu secara luas. Mereka terlibat kasus korupsi. Walaupun selalu dikatakan bahwa korupsi itu juga melibatkan banyak partai politik lain, bagaimana pun kita harus introspeksi diri. Yang terlibat kasus, silakan selesaikan permasalahannya. Pada dasarnya kan di Partai Demokrat sampai saat ini lebih banyak yang bersih daripada yang terlibat.
Parpol lain kadernya ada yang terlibat korupsi. Tapi yang pernah beriklan anti korupsi hanya Partai Demokrat, dan yang terseret kasus notabene nama besar dan petinggi partai. Ini membuat Partai Demokrat lebih disorot. Tanggapan Anda?
Manusia punya sifat masing-masing. Yang bisa terlibat korupsi tidak mengenal kedudukan, asal pendidikan. Bahkan saat ini ramai dibahas kasus korupsi yang melibatkan sosok pimpinan puncak sebuah lembaga. Iklan anti korupsi yang pernah dibuat Partai Demokrat menurut saya tetap relevan. Yang tidak relevan adalah anggota yang terlibat korupsi. Mereka harus mempertanggungjawabkannya. Jangan bersembunyi di balik Partai Demokrat. Itu tidak baik!
Langsung duduk di jajaran dewan pembina partai, adakah tugas khusus bagi Anda dari ketua umum dan ketua dewan pembina?
Tidak ada tugas khusus, tapi saya bekerja berdasarkan pengalaman sebagai KSAD. Saya bisa menyelesaikan tugas dan tidak ada permasalahan, khususnya masalah korupsi. Itu saya terapkan juga di partai. Saat kunjungan ke daerah, saya juga sampaikan ke anggota prinsip ini. Mana yang boleh, mana yang tidak.
Masuknya Anda ke Partai Demokrat kian mengentalkan nuansa politik dinasti. Bapak dan anak jadi ketum, ketua dewan pembina, dan sekjen. Lalu Anda di dewan pembina. Belasan keluarga jadi caleg. Komentar Anda?
Saya menanggapi yang disampaikan masyarakat itu sebenarnya terkait dengan potensi korupsi. Jadi politik dinasti itu andai seseorang ditunjuk memimpin sesuatu, misalnya raja menunjuk anaknya jadi pangeran, itu memimpin dinasti. Edhie Baskoro jadi sekjen kan permintaan Mas Anas (Urbaningrum), bukan permintaan SBY. Mas Anas jadi ketum karena pemilihan. Dia berhak menyusun kepengurusan. Saya masuk partai, lantas dikasih ruang istimewa di dewan pembina. Bersama saya di dewan pembina ada Mas Dede Yusuf mantan wakil gubernur Jawa Barat, lalu ada Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Masak saya tidak boleh? Saya pernah jadi KSAD. Kapasitas saya tidak bisa diragukan. Justru kalau tidak boleh, namanya diskriminasi.
Soalnya ketika Presiden SBY ikut menyentil politik dinasti keluarga Gubernur Banten, itu berbalik ke PD....
Saya melihat itu fair saja. Dulu saat Demokrat baru lahir banyak orang tidak mau jadi anggota. Saya masih dinas tentara. Pak SBY sampai mengajak saudaranya, maaf ya, pembantu pun diajak jadi anggota. Pada saat itu mengharapkan kenaikan elektabilitas dari tiga persen menjadi tujuh setengah persen. Yang mau gabung hanya saudaranya sendiri. Berjuanglah bersama saudara, tetangga. Sekarang partai sudah besar, terus mereka disuruh keluar? Tidak fair-lah. Tidak fair! Jadi menurut saya ini beda situasi dengan partai lain. Politik dinasti tidak masalah, yang penting persyaratan perjalanannya sesuai ketentuan yang berlaku.
Soal elektabilitas dalam konvensi, dibandingkan calon lain yang lebih dulu populer di masyarakat, bahkan ada menteri yang punya kesempatan mengkampanyekan diri dengan kunjungan terkait pekerjaan, nampaknya sulit bagi Anda untuk menyaingi?
Begini, saya sudah evaluasi sampai saat ini saya harus lebih banyak memperkenalkan diri ke pemilih. Kalau elektabilitas saya masih rendah, saya tetap usaha. Tapi dari kunjungan intensif ke daerah dalam dua bulan ini, Insya Allah elektabilitas saya naik. Tolong dilihat, maaf ya, ada orang yang punya jabatan bisa tampil di mana-mana. Saya tidak punya jabatan, tapi saya lihat ada tren kenaikan, sehingga saya yakin pelan-pelan elektabilitas membaik. Yang saya takut, kalau naik tinggi terlalu cepat, saya tidak bisa evaluasi. Bahkan bisa turun mendadak juga.
Pemimpin negeri dengan latar-belakang militer masih relevankah?
Menurut saya masih. Di militer itu ada jenjang yang harus dilalui. Misalnya, saya harus lalui jenjang Letnan Dua, lalu beberapa jenjang ke Kolonel dan seterusnya. Memimpin unit kecil sampai ratusan ribu. Belajar kepemimpinan bertahap dan terus dievaluasi. Jadi, Insya Allah bisa menjadi pemimpin yang baik. Pemimpin militer itu anak buahnya dari seluruh suku di Indonesia. Jadi sudah terlatih.
Modal untuk ikut konvensi capres dari mana?
Modalnya sangat kecil. Bahkan saya harus berhemat, saya harus berbagi dengan anggota Demokrat di daerah. Saya terpaksa naik pesawat kelas ekonomi. Saat jadi KSAD saya naik kelas bisnis karena “grade”nya di sana. Yang penting sampainya kan sama ha ha ha.... Tim saya sampai mencari penerbangan apa yang murah. Ada yang komentar, “kere kok mau jadi presiden”. Saya berangkat apa adanya dengan harapan nantinya saya tidak disandera karena biaya.
Isu negatif kembali melingkupi Presiden yang notabene ketum partai, terkait dengan sosok Bunda Putri. Presiden bahkan secara khusus membantah, berjanji mengungkap. Tapi kemudian tidak diungkap juga. Lalu ada Ibu Pur yang ada di lingkungan dekat keluarga Cikeas, yang dianggap bisa menjadi pelobi, bahkan pembisik. Seberapa besar pengaruh mereka kepada keputusan yang diambil Presiden?
Nih, sekalian saya jelaskan. Pak SBY jadi presiden sembilan tahun. Sebelumnya jadi menteri, bintangnya tiga. Kalau dipengaruhi pembisik dalam buat keputusan, saya rasa kecil sekali kemungkinan. Saya yang keluarga dekat saja kalau menyampaikan sesuatu, dicek langsung sama beliau. Langsung, saat saya masih ada di situ. Itu adiknya loh. Saya kan menyampaikan sesuatu agar Pak SBY tidak hanya mendengar dari birokrasi yang langsung berkerja di bawah beliau. Dicek.
Yang mungkin terjadi sehingga ucapan Pak SBY ditanggapi negatif ya mungkin karena informasinya yang salah. Tapi kalau pengambilan keputusannya tidak. Beliau selalu menggunakan kepemimpinan staf. Tidak ambil keputusan sendiri. Staf sebagai pelengkap.
Menanggapi ormas yang didirikan Anas Urbaningrum, Pak SBY nampaknya keder? Sampai secara khusus bahas itu meski secara “no mention” di acara PD di Sentul? Bahkan berkirim pesan pendek?
Saya pikir segala sesuatu yang tidak benar harus dijawab, jangan didiamkan karena nanti dianggap benar. Dulu, diam itu emas. Sekarang tidak lagi. Pak SBY keder? Tidak lah. Menurut saya tidak sebanding! Maaf ya, saya bilang ke kader jangan minder. Yang tidak baik perkaranya kan sedang diproses. Edhie Wibowo yang antikorupsi malah masuk partai. Track-record saya bisa dilihat sejak di AD. Bahkan saya disalahkan karena membeli tank. Ternyata dengan dana tetap saya bisa beli lebih banyak tank, karena tidak ada korupsi. Jadi saya bisa mengatakan, saat saya berkuasa saya tidak korupsi. Orang lain “ baru akan”. Aku sudah melakukan dan masuk Demokrat. Kader Demokrat yang baik jauh lebih banyak. Silakan kita lihat, mereka yang keluar itu apakah bisa menjadi besar?
Dalam dua kali pidato terakhir, Pak SBY mengeluh soal media. Padahal beliau dulu populer karena media juga. Kesannya pikiran Pak SBY terokupasi dengan pemberitaan media. Bukankah semua kegiatan Pak SBY selalu diliput luas?
Beliau merasa kok tidak imbang banget. Kalau imbang, beliau oke saja. Beliau katakan, sudahlah, apa yang kukatakan, kalau tidak bisa dimuat 100 persen, muat 25 persen. Tapi tolong kebenarannya juga disampaikan, jangan diartikan berbeda. Media sangat berpengaruh terhadap pendidikan rakyat, termasuk membangun demokrasi.
Sumber : VivaNews