Penyadapan Australia, Indonesia cepat sekali melunak

Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS), Guspiabri Sumowigeno, mengatakan, Australia berusaha menekan Indonesia dengan permasalahan Papua setelah kedua negara bersitegang masalah penyadapan.

Penyadapan Australia, Indonesia cepat sekali melunak
Sejumlah warga membubuhkan pesan kecaman terhadap pemerintah Australia atas penyadapan terhadap Indonesia di Solo, Jawa Tengah, Minggu (24/11/2013). Aksi protes terhadap Australia di sejumlah daerah masih berlangsung meminta pemerintah Australia segera meminta maaf atas penyadapan yang dilakukan pada tahun 2009 terhadap presiden dan sejumlah pejabat Indonesia. foto : Sindo

"Indonesia nampak menghindari ketegangan diplomatik yang berlarut-larut dengan Australia. Kartu Papua merupakan jurus Australia memaksa Indonesia untuk melakukan hubungan bilateral kedua negara tersebut," kata Sumowigeno, Minggu.

Menurut dia setelah surat PM Australia, Tony Abbott, diterima Presiden Susilo Yudhoyono, Indonesia menyodorkan ajakan pada Australia menyusun protokol dan kode etik bagi hubungan kedua negara.


"Sebenarnya tidak lazim suatu negara yang dirugikan malah berinisiatif menyodorkan solusi untuk perbaikan hubungan yang rusak," katanya.

Indonesia, katanya, cepat sekali melunak.

Indikasinya, Indonesia masih mau menampung hibah lima C-130H Hercules dari Australia, dan pernyataan BIN bahwa pihaknya telah mendapatkan jaminan tak ada lagi penyadapan oleh Australia beberapa hari lalu.

"Ini menunjukkan Indonesia cepat sekali melunak, ingin segera rujuk secara tergesa kepada Australia. Juga tanpa langkah standar berupa permintaan maaf dari Australia," kata dia.

Dia menduga, begitu cepat Jakarta melunak kepada Canberra mengantisipasi kemungkinan tekanan balik Australia tentang Papua.

Dua langkah diatas diharapkan segera memulihkan kerjasama politik kedua negara, yang antara lain menjamin Papua sebagai bagian sah Indonesia.

Sentimen publik sebenarnya menginginkan Indonesia bisa lebih tegas menghukum Australia, tetapi hal itu sulit dipenuhi pemerintah. Hal ini karena Indonesia cukup tergantung pada kerjasama politik dengan Australia dalam menjamin status politik wilayah Papua.

"Ini sebenarnya tidak lazim karena kedua negara sama-sama berbobot middle power, meski Australia adalah upper class middle power sementara Indonesia pada lower class middle power. Sikap Indonesia menunjukkan kita tidak bisa menjalankan prinsip bebas aktif. Kita tidak bebas bersikap dan berekspresi," ujarnya.

Dikatakan, Indonesia hanya bisa lepas dari ketergantungan itu dan bisa lebih independen dalam bersikap dan bebas menunjukkan ekspresi terhadap Australia bila Indonesia memperbaiki profil militernya dengan menggandeng Rusia.

India sukses melakukan hal ini dengan Rusia, yang terkenal tidak mau campur tangan urusan negara pembeli arsenal militernya. India juga bisa menekan Prancis saat memodernisasi kekuatan udaranya, saat "lelang" C-01 Rafale dari Prancis berhadapan dengan Euro Fighter dan Su-27 Rusia.

Alhasil, Dassault Breguet dari Prancis bersedia memberi lisensi pembuatan Rafale ke India dalam jumlah signifikan.

Alternatif lainnya kata dia mengadakan deal politik militer langsung dengan Amerika Serikat untuk menekan Australia dengan imbalan tertentu, atau menggandeng China menginternasionalisasi isu-isu dalam negeri Australia, utamanya nasib kaum Aborigin.

Alternatif lebih ekstrem lanjutan, memberi tempat berbagai kekuatan dunia secara bersamaan membuka pangkalan militer di Tanah Air. Misalnya, China diizinkan membangun pangkalan militer di Papua, Amerika Serikat di Natuna, Rusia di Pulau Nias, Perancis di Lombok, dan India di Kalimantan.

"Kalau berbagai pihak asing membuka pangkalan secara bersamaan, tentu tidak bisa dikatakan melanggar prinsip bebas aktif," katanya. (Antara)