Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menilai, ada sejumlah kejanggalan dalam tindakan Tim Densus 88 AT saat penggerebekan terduga teroris di Jalan KH Dewantara, Gang Haji Hasan, Kampung Sawah Dalam, Ciputat, Tangerang Selatan, pada malam 31 Desember 2013 dan berakhir pada dini hari 1 Januari 2014.
"Tindakan Densus 88 AT yang mengeksekusi mati terduga teroris di lokasi kejadian sudah menjadi pola yang lazim digunakan dalam setiap operasi," kata Koordinator Kontras, Haris Azhar, lewat rilisnya kepada Sindonews, Minggu 5 Januari 2014.
Haris menjelaskan, berangkat dari temuan awal dan informasi media massa, Kontras menganggap, kematian enam terduga teroris, Hidayat, Nurul Haq, Fauzi, Rizal, Hendi, dan Edo, tidak wajar dan mengandung unsur-unsur pelanggaran prosedur hukum serta hak asasi manusia, termasuk hak asasi warga yang terkena dampak.
Berikut ini adalah beberapa temuan awal Kontras di lapangan dan perbandingan dengan pemberitaan media massa, termasuk keterangan dari pihak Polri.
"Pertama menurut informasi dari seorang warga sekitar (nama tidak mau disebutkan) bahwa sejak tiga bulan lalu orang-orang yang diduga intel sering berkeliaran disekitar lokasi. Intensitas mereka meningkat sekira satu minggu sebelum terjadi penggerebekan," ungkapnya.
Dia mengatakan, pada malam satu hari sebelum terjadi penggerebekan, dua orang yang diduga intel juga sempat mendatangi rumah terduga teroris. Informasi lain sebagaimana disampaikan warga lainnya, bahwa pada hari Senin 30 Desember 2013 sudah ada beberapa mobil mondar-mandir di perkampungannya.
"Mobil di parkir di lapangan bola yang berjarak sekitar 200 meter dari lokasi penggerebekan. Dari informasi tersebut, disimpulkan bahwa aparat kepolisian memungkinkan melakukan penangkapan dalam keadaan hidup karena sudah memiliki informasi yang cukup, tanpa harus jatuh korban jiwa, kerugian materil dan trauma masyarakat. Tetapi tindakan tersebut tidak dilakukan," jelasnya.
Kedua, kata Haris, pada 31 Desember 2014, siang hari, sebelum terjadi penggerebekan, aparat kepolisian menyuruh warga menjauh dari lokasi. Sebagian warga meninggalkan lokasi pergi ke rumah-rumah saudaranya, kecuali beberapa orang yang tidak bersedia menghindar lantaran menjaga keluarganya yang sedang sakit.
"Pengusiran warga dari lokasi disinyalir sebagai upaya Densus 88 AT untuk meminimalisir korban dipihak penduduk sekitar dan hal ini patut diduga sebagai bagian dari mobilisasi terencana untuk penindakan terhadap terduga teroris, yang kemudian berakhir dengan korban jiwa," bebernya.
Lebih lanjut dia mengatakan, ketiga, penembakan terhadap Hidayat yang diduga sebagai pimpinan teroris Ciputat. Hidayat merupakan terduga pertama yang ditembak dibagian kepala hingga tewas di Gang Hasan, sekira 200 meter dari rumahnya.
"Saat terjadi penembakan, Hidayat sedang mengendarai motor membonceng Irwan (warga) untuk membeli makanan (nasi goreng). Hidayat ditembak tanpa ada perlawanan yang membahayakan aparat," tuturnya.
"Namun menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Boy Rafli Amar bahwa terjadi baku tembak antara anggota Densus 88 AT dengan Hidayat. Anggota Densus 88 AT yang sudah menguntit dari belakang dan menyergapnya ditembak oleh Dayat dengan pen gun dalam jarak dekat sehingga anggota Densus tertembak dibagian kaki kiri tepat dibawah lutut tembus ke paha kanan," imbuhnya.
Sedangkan anggota Polisi yang lain yang sudah siap mengarahkan tembakan ke Dayat yang mengakibatkan Dayat meninggal. Boy Rafli Amar juga memberikan keterangan yang berbeda bahwa dua orang dilumpuhkan karena berusaha melarikan diri menggunakan motor Honda Supra B 6516 PGE.
Selain itu, keempat, beberapa saat setelah penembakan Hidayat, warga berkerumun dilokasi kejadian yang terletak sekira 200 meter dari rumah yang digerebek. Saat bersamaan, Tim Densus menggerebek rumah yang dihuni oleh terduga teroris lainnya.
"Rumah terduga berada didepan sebuah Mushala, hanya berjarak tiga meter. Didepan rumah terdapat tanah lapang ukuran tiga meter. Rumah tersebut terletak diantara rumah penduduk yang lain, hanya dipisahkan oleh gang kecil," katanya.
Selain itu, kondisi di belakang rumah, dan samping kiri terdapat sedikit semak-semak, sementara sebelah kanan tanah kosong. Dilihat dari posisi rumah, kontak tembak kemungkinan besar terjadi dalam jarak dekat, antara lima atau 10 meter.
"Jika benar terjadi kontak senjata sebagaimana disampaikan oleh Polisi, berarti ada bangunan-bangunan didepan rumah yang terkena tembakan peluru milik terduga teroris. Namun sejauh ini tidak ada bekas peluru di bangunan Mushala atau rumah warga yang berada didepan rumah terduga," ucap Haris.
"Selain itu, hanya rumah terduga yang ditutup dengan terpal dan police line, sementara lokasi sekitar Mushala dan rumah warga tidak diberi police line. Warga juga dapat mondar-mandir di Gang yang berjarak dua atau tiga meter dari rumah terduga," tambahnya.
Kemudian sambung Haris, klaim bahwa terjadi baku tembak selama 10 jam patut dipertanyakan? Kontras menduga, rumah terduga teroris dikepung dan diberondong peluru serta bom dalam tempo yang cepat. Setelah itu, suara letusan senjata api hanya akal-akalan untuk menciptakan suasana mencekam.
"Kelima keterangan Komisioner Kompolnas Syafriadi Cut Ali yang mengatakan, bahwa terduga melempar dua bom keluar, satu meledak satu tidak. Dan keterangan Boy Rafli Amar yang mengatakan menemukan enam bom rakitan didalam rumah dan satu ditemukan sudah meledak," jelasnya.
Dia menjelaskan, pernyataan tersebut kontradiksi. Jika mengaju ke pernyataan Syafriadi, artinya ada bekas ledakan bom di luar rumah, ada bangunan yang rusak, dan tentunya ada aparat yang terkena serpihan bom.
Namun sebagaimana telah kami uraikan pada poin empat tidak ada lokasi di luar rumah yang rusak dan di police line. Sementara pernyataan Boy Rafli yang menyatakan ada bom meledak didalam rumah makin memperdalam kebingungan publik.
"Sebab, jika satu bom meledak di dalam rumah, pasti rumah tersebut rata dengan tanah dan orang-orang di dalamnya hancur. Sejauh ini, rumah terduga teroris hanya terlihat bolong di atap dan beberapa bekas peluru di dinding," pungkasnya. (Sindo)