"Masih ada, menurut saya, sejumlah hal yang perlu diberikan klarifikasi oleh pihak Australia..," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, Selasa (26/11).
Jika membaca pernyataan politik Presiden Yudhoyono ini, maka masyarakat di Tanah Air tentu bisa bertanya-tanya apa yang terjadi setelah Perdana Menteri Australia Tony Abbott mengirimkan surat balasan terhadap SBY yang berkaitan dengan kasus penyadapan oleh dinas intelijen Australia terhadap SBY pada bulan Agustus tahun 2009?
Percakapan Yudhoyono, Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla serta beberapa pejabat Indonesia pada Agustus 2009 itu disadap oleh intelijen negara kangguru tersebut.
Namun sama sekali tidak jelas alasan negara tetangga itu untuk menyadap pembicaraan SBY itu, padahal hubungan kedua negara dalam taraf yang cukup baik dan juga tidak ada keinginan untuk melakukan hal-hal yang "aneh" terhadap mitranya itu.
Ketika mengomentari isu penyadapan itu, langsung Kepala Negara mengadakan jumpa pers dan mengeluarkan pernyataan yang pasti cukup keras bagi PM Tony Abbott.
"Saya juga menyesalkan pernyatan Perdana Menteri Australia yang meremehkan soal penyadapan atas Indonesia itu tanpa rasa penyesalan," kata Jenderal Purnawirawan TNI Angkatan Darat ini.
Dia kemudian menuntut pemerintahan di Canberra untuk memberikan penjelasan dan pertanggungjawaban atas penyadapan itu.
Selain itu, untuk menunjukkan kekecewaan Indonesia maka, Presiden memerintahkan dipanggil pulangnya Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema .
Kekecewaan Indonesia ternyata tidak hanya sampai di situ, sehingga Markas Besar TNI kemudian memerintahkan sejumlah perwira TNI dan beberapa pesawat TNI Angkatan Udara yang telah berada di sana untuk latihan bersama, agar segera kembali ke Tanah Air.
Akhirnya PM Tony Abbott mengirimkan surat jawaban kepada Yudhoyono. Namun surat itu sama sekali tidak memuat pernyataan permintaan maaf atas dilakukannya peristiwa penyadapan itu.
Kepala pemerintahan Australia hanya menyebutkan arti pentingnya hubungan Australia dengan Indonesia.
Setelah menerima surat dari mitranya itu, maka kemudian Yudhoyono kembali bereaksi antara lain dengan mengatakan bahwa telah memerintahkan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa atau seorang utusan Indonesia untuk membicarakan beberapa hal penting dengan Canberra, antara lain disusunnya kode etik dan protokol yang bakal menjadi pedoman bagi bagaimana mengatur hubungan diplomatik kedua pihak.
Bahkan kode etik itu harus ditandatangani para pejabat di depan kedua pemimpin ini.
Apabila pemimpin kedua negara itu sudah saling berkirim surat dan suasana tegang sudah mulai mereda, maka pertanyan yang bisa muncul pada masyarakat antara lain adalah apakah kasus penyadapan ini akhirnya akan sirna begitu saja?.
Apakah Indonesia yakin bahwa Australia tidak akan lagi menyadap pembicaraan telepon para pemimpin Indonesia-- apa pun alasannya-- seperti yang dijanjikan Abbott.
"Australia berjanji tidak akan melakukan hal-hal yang bisa merugikan Indonesia di masa mendatang," kata Yudhoyono mengutip surat mitranya Abbott.
Kurang memuaskan
SBY sudah mengeluarkan pernyataan politik yang jelas terhadap Australia. Namun di lain pihak, surat kepala pemerintahan Australia itu tidak diumumkan secara lengkap dan terbuka sehingga rakyat Indonesia tidak tahu secara tepat atau persis pernyataan atau janji- janji pemerintahan Canberra.
Karena itu, tidak aneh sama sekali jika kemudian masih muncul sejumlah komentar dari beberapa politisi Indonesia mengenai masa depan hubungan kedua pihak.
Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin , misalnya, menyatakan bahwa seharusnya Indonesia tetap menuntut penjelasan dari Australia terhadap penyadapan pembicaraan sejumlah pemimpin dan tokoh Indonesia itu.
"Seharusnya kita tetap menuntut Australia untuk menjelaskan alasan penyadapan itu atau bersedia meminta maaf atas penyadapan itu," kata Lukman Hakim Saefuddin.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin juga sama pendapatnya dengan Lukman Hakim bahwa seharusnya Indonesia tetap menuntut pernyataan maaf dari Canberra.
"Presiden dan rakyat Indonesia tetap menghendaki agar Australia meminta maaf," kata Hasanuddin yang juga merupakan Jenderal Purnawirawan TNI AD. Hasanuddin adalah mantan ajudan Presiden BJ Habibie dan juga mantan Sekretaris Militer Kepresidenan pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Karena hubungan tegang Indonesia dan Australia sudah mulai mereda pascasaling berkirim suratnya Presiden Yudhoyono dan PM Abbott, maka pertanyaan yang dapat muncul pada benak rakyat Indonesia adalah apakah kasus penyadapan ini akan "hilang" begitu saja.
Sekalipun Abbott sudah "memberi jaminan" bahwa Australia tidak akan lagi melakukan tindakan-tindakan yang bisa merugikan Indonesia maka dapat yakinkah seluruh bangsa Indonesia tidak akan terjadi lagi kasus penyadapan oleh Australia terhadap para pemimpin di Tanah Air?
Pertanyaan itu bisa muncul karena teknologi akan semakin canggih sehingga teknologi komunikasi dan informatika bisa saja dimanfaatkan untuk mengetahui posisi atau sikap politik satu negara oleh negara lainnya baik secara resmi atau tidak resmi atau secara terbuka ataupun tertutup.
Pertanyaan itu perlu dijawab karena ternyata pembicaraan Presiden Yudhoyono juga pernah disadap saat berada di Inggris. Bahkan Kanselir Jerman Angela Merkel baru-baru ini menuntut pemerintahan Presiden AS Barack Obama untuk menjelaskan alasan penyadapan pembicaraannya oleh intelijen AS.
Rakyat di Tanah Air tentu sudah akrab dengan nama beberapa lembaga yang sering terkesan "menakutkan atau seram" seperti Badan Intelijen Negara (BIN), kemudian Badan Intelijen dan Strategis (Bais) yang berada di bawah Markas Besar TNI serta Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).
Lembaga-lembaga atau instansi pemerintah itu harus mampu memberikan rasa tenang kepada masyarakat bahwa tidak bakal terjadi lagi penyadapan pembicaraan telepon para pemimpin di Tanah Air oleh intelijen dari negara mana pun dan dengan alasan apa pun.
Sumber : Antara