Teknologi Penyerang Radar Pesawat Tempur Lawan

Di kancah Perang Dunia II Jerman berhasil memanfaatkan sinyal komunikasi-navigasi (com-nav) untuk menunjang operasi malam hari pesawat pembom Luftwaffe. Sistem pemancar sinyal yang disebut Knickebein itu akan mengirim kode tertentu pada Luftwaffe saat pesawat tersebut pada posisi yang tepat untuk menjatuhkan bom.

Pada awal dioperasikannya sistem tersebut Luftwaffe sukses menjalankan misi pengebomannya. Bom berhasil dijatuhkan pada sasaran yang tepat. Tetapi, keberhasilan Inggris melakukan infiltrasi sinyal Knickebein mengacaukan misi pengeboman berikutnya. Awak pesawat Luftwaffe bukan hanya kehilangan panduan pengeboman, bahkan disesatkan hingga beberapa di antaranya mendaratkan pesawat mereka di pangkalan Angkatan Udara Inggris.




Intervensi terhadap sinyal Knickebein memperluas zona pertempuran hingga merambah ruang ‘tidak kasat mata’, yakni ranah spektrum elektromagnetik. Ini merupakan perkembangan awal dari fenomena yang diidentifikasi sebagai perang elektronik (electronic warfare). Yakni perang yang menjadikan perangkat elektronik tertentu sebagai sasaran. Perangkat yang menjadi sasaran dikacaukan operasinya hingga terdegradasi fungsinya atau bahkan sepenuhnya macet. Tujuannya menciptakan keunggulan perangkat penunjang pertempuran.

Beradu sinyal

Dalam perang elektronik, sasaran penyerangan adalah perangkat yang menggunakan medium medan elektromagnetik, utamanya adalah radar dan alat komunikasi. Dua perangkat tersebut menjadi target karena urgensinya dalam petempuran yang melibatkan pesawat udara amat vital. Radar dapat mendeteksi keberadaan pesawat penyusup dan menentukan posisi target tembakan. Sedangkan alat komunikasi menjadi sarana koordinasi dan penentuan identifikasi pesawat lain, sekutu atau musuh.

Radar modern, dengan dukungan teknologi komputer, bukan hanya mampu menentukan posisi aktual sebuah pesawat, tetapi juga memprediksi keberadaan pesawat beberapa saat kemudian. Dimungkinkan hasil pelacakannya digunakan sebagai data masukan untuk pengarahan dan penentuan kecepatan peluru kendali (guided missile). Dengan dukungan radar berakurasi tinggi, yang terkonek dengan peluncur rudal atau on-board pada rudal, kemungkinan rudal tepat sasaran sangat besar.

Antisipasi dini terhadap tembakan rudal yang dipandu radar dilakukan dengan pemasangan perangkat RWR (Radar Warning Receiver) pada pesawat. Instrumen ini akan menyalakan sinyal peringatan ketika keberadaan pesawat tengah dilacak radar. Penyalaan sinyal sekaligus menjadi perintah kepada awak pesawat untuk segera mengaktifkan instrumen electronic countermeasures (ECM), disebut juga electronic protective measures (EPM), perangkat yang diadakan untuk melumpuhkan operasi radar.

Deteksi radar dapat dikecoh dengan penghamburan chaff, lempeng metal yang menimbulkan pantulan gelombang radar hingga memunculkan titik-titik target semu pada displai radar. Reaksi yang lebih agresif adalah dengan melancarkan serangan electronik (electronic attack) terhadap radar. Langkah ofensif untuk mendegradasi fungsi radar dilakukan dengan memancarkan sinyal pengganggu gelombang pantul radar.

Frekuensi dan daya sinyal serangan diatur sedemikian sehingga operasi radar terdegradasi, atau bahkan sepenuhnya macet, misalnya dengan memperlambat waktu tempuh pantulan gelombang radar mencapai unit penerima (receiver) radar. Pelambatan tersebut akan membuat perhitungan jarak target tidak sesuai dengan posisi sebenarnya.

Namun, serangan electronik terhadap radar menjadi tidak efektif jika radar telah dilengkapi perangkat ECCM (electronic counter-countermeasures). Dengan alat tersebut radar dapat ‘berkelit’ dari upaya pemacetan (jamming) atau gangguan terhadap operasinya. Ketika terindikasi ada serangan terhadap radar dengan segera dilakukan pemindahan frekuensi dan atau penguatan daya pancar. ECCM yang dilengkapi sensor tertentu juga dapat mengenali target-target semu yang dimunculkan chaff.

Pemindahan frekuensi atau penguatan daya akan mengundang serangan elektronik baru. ALQ-218 TJR, senjata elektronik yang akan dipasang pada pesawat penyerang elektronik generasi baru Amerika EA-18 Growler, misalnya, dapat dengan segera mendeteksi pemindahan frekuensi, dan frekuensi penyerangan pun segera menyesuaikan. Ini membuat pertempuran elektronik terus berkecamuk hingga salah satu pihak berhasil sepenuhnya mengontrol pergerakan energi-sinyal frekuensi di ranah spektrum elektromagnetik.

Perangkat avionik lain yang sering menjadi sasaran serangan elektronik adalah sistem komunikasi, salah satunya IFF (identification, friend or foe). Penyerangan terhadap IFF dimungkinkan karena instrumen tersebut juga menggunakan sinyal gelombang elektromagnetik untuk menginterograsi pesawat lain, teman atau lawan. Penurunan efektivitas IFF diupayakan dengan melakukan interferensi terhadap sinyal IFF atau memecahkan pengacakan kode transponder replay-nya.

Efektivitas serangan

Efektivitas serangan elektronik terhadap radar didemonstrasikan oleh aksi penyusupan pesawat Israel ke dalam wilayah Suriah awal September 2007 lalu. Pesawat penyusup yang melakukan penyerangan terhadap sebuah bangunan tersebut berhasil memasuki wilayah Suriah tanpa terdeteksi radar. Ditengarai penyusupan pesawat tidak berkarakteristik siluman itu diawali dengan serangan elektronik oleh sebuah pesawat tak berawak hingga radar pemantau (surveillance) buatan Rusia yang dioperasikan pihak pertahanan udara Suriah berhasil dimacetkan.

Amerika secara efektif juga menggunakan pesawat penyerang elektronik EA-6B Prowler di berbagai medan pertempuran, antara lain di Bosnia, Kosovo, Afghanistan, dan Irak. Dengan perangkat ALQ-99 dan USQ-113 pesawat tersebut mendegradasi fungsi radar dan alat komunikasi lawan.

Aksi serangan elektronik menjadi pembuka jalan bagi pesawat lain, terutama tipe fighter atau pengebom untuk menjalankan operasinya. Ini menempatkan pesawat penyerang elektronik (electronic attack aircraft atau AEA) pada peran yang strategis, mengawal sebuah penyerangan. Keberhasilan serangan elektronik merupakan sebuah kemenangan awal pertempuran, sebelum akhirnya dituntaskan oleh pesawat tempur atau pengebom.***

M. Nurdin Suhar.
Karyawan PT Dirgantara Indonesia Bandung.*