Tactical Communication Antara Penerbang Pesawat Pemburu Dengan Pusat Kendali

Melihat Pesawat Stealth di Layar Radar

F Djoko Poerwoko

”Foxtrot One.. tally hoo.. bandit at ten o’clock six thousand feet high.”

”Keep padlock, ready to destroy bandit if VID (visual identification)....”

”Destroy bandit, wilco….”

Sepenggal tactical communication antara penerbang pesawat pemburu dengan pusat kendali operasi pertahanan udara ini mengisyaratkan bahwa pesawat musuh terlihat secara visual oleh penerbang dan telah diperintahkan untuk dihancurkan.

Sebagai informasi, di negara mana pun proses penyergapan pasti melibatkan radar pertahanan udara (militer) yang dapat mendeteksi semua pesawat terbang, baik kawan maupun lawan, termasuk pesawat penyergap sebagai eksekutor dan pesawat musuh yang harus disergap.




Namun, dalam realita, proses penyergapan sampai eksekusi kegiatan penyergapan tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Terlebih setelah kemajuan teknologi di bidang penerbangan yang terus berkembang menghasilkan pesawat Stealth, sang siluman yang konon tidak dapat ditangkap radar.

Untuk dapat melihat pesawat atau obyek di udara, sebuah radar memancarkan gelombang elektromagnetik dari sistem transmiternya. Setelah gelombang tersebut mengenai obyek di udara, gelombang itu lalu dipantulkan kembali oleh obyek untuk diterima receiver radar.

Seluruh data tentang perbedaan waktu antara pengiriman dan diterimanya kembali gelombang pantulan diperhitungkan dengan arah horizontal dan vertikal antena, dikalkulasi oleh prosesing radar sehingga obyek yang tertangkap tersebut dapat ditentukan jarak dan arah (bearing) serta kecepatan dan ketinggiannya dari radar.

Kemampuan yang dimiliki radar pertahanan udara modern ini disebut radar 3D (tiga dimensi: jarak, arah, dan ketinggian). Di beberapa negara, dengan prosesing tambahan, beberapa tipe radar dapat menentukan jenis dan macam pesawat yang tertangkap radar tersebut.

Biasanya, setiap radar militer dan sipil juga dilengkapi dengan interogator IFF (identification friends or foe) yang sering disebut sebagai radar sekunder. Interogator ini mengirim sinyal pertanyaan yang disebut sebagai mode 1, mode 2 (khusus pesawat militer), mode 3/A (identifikasi untuk semua pesawat), dan mode C (pertanyaan tentang ketinggian terbang).

Pesawat yang dilengkapi transponder IFF, setelah menerima sinyal pertanyaan (mode 1, 2, 3/A, dan C) akan menjawab sesuai pertanyaannya secara otomatis. Data perbedaan waktu antara dikirimnya sinyal pertanyaan dan diterimanya kembali jawaban dari pesawat serta arah horizontal antena dikalkulasi oleh prosesing radar sekunder sehingga pesawat yang menjawab dapat ditentukan jarak dan arahnya (bearing-nya) dari radar.

Dengan kata lain, untuk penerbangan sipil, radar sekunder banyak dipakai sebagai peralatan pendukung keselamatan penerbangan dengan kemampuan dapat melihat pesawat-pesawat yang harus dan bersedia diketahui posisinya demi keselamatan penerbangan.

Adapun radar militer, selain memiliki kemampuan serupa, juga dapat mendeteksi pesawat yang tidak ingin diketahui keberadaannya. Radar militer menggunakan kemampuan radar sekunder sebagai alat bantu untuk mendeteksi dan menentukan pesawat milik kawan atau lawan.

Teknologi

Kompetisi antara pengembangan teknologi pesawat tempur dan radar pertahanan udara selalu terjadi. Pihak pengembang pesawat tempur selalu berusaha untuk menciptakan pesawat yang tidak dapat tertangkap oleh radar, sedangkan pihak pengembang radar berusaha untuk menciptakan radar yang selalu dapat menangkap semua jenis pesawat terbang.

Mereka bersaing di daerah gelombang radar tertentu. Di mana pada umumnya gelombang yang dipancarkan oleh radar menggunakan frekuensi di daerah long band atau L band dan short band atau S band, yaitu frekuensi antara 1 GHz hingga 4 Ghz, sedangkan radar navigasi kapal laut bekerja pada frekuensi S band dan X band, yaitu antara 8 GHz sampai 12 GHz.

Dalam persaingan ini, berbagai cara telah diusahakan oleh pengembang pesawat, yaitu mulai dari pesawat yang dapat mengeluarkan chaff (pengacak gelombang radar) hingga tercipta pesawat jenis stealth atau siluman yang direncanakan sedemikian rupa, baik bentuk, jenis lapisan pelindung, maupun jenis catnya, sehingga setiap gelombang elektromagnetik yang mengenai pesawat tersebut akan diserap atau dipantulkan ke tempat lain.

Menyadari hal ini, beberapa pengembang radar, khususnya yang menjadi pesaing negara adikuasa pemilik teknologi stealth, mengembangkan metode baru di mana gelombang elektromagnetik yang dipancarkan bukan dari L band, S band atau X band, tetapi gelombang yang sangat rendah frekuensinya, dari 100 Mhz hingga 400 Mhz, atau gelombang yang bekerja pada frekuensi VHF (very high frequency) dan UHF (ultra high frequency).

Walhasil, dengan frekuensi band di VHF dan UHF, ternyata pesawat jenis stealth masih tetap memantulkan gelombang elektromagnetik walaupun pantulannya menyebar. Agar pantulan gelombang elektromagnetik yang tersebar dari pesawat jenis stealth tersebut dapat ditangkap kembali, diciptakanlah radar di mana tidak hanya terdapat satu receiver, namun banyak receiver yang digelar pada area yang luas. Metode ini terbukti andal dan sejumlah Stealth tertangkap radar dan bahkan pernah ditembak jatuh beberapa tahun yang silam.

Meskipun terlihat andal, radar jenis ini masih mempunyai kelemahan karena dalam setiap operasinya selalu memancarkan gelombang elektromagnetik. Hal ini menjadi kerawanan tersendiri karena tetap dapat dilacak oleh rudal jenis HARM (high speed anti radiation missile) sang penghancur radar. Pasalnya, rudal jenis ini akan homing menuju transmiter radar yang memancarkan gelombang elektromagnetik. Selama masih ada gelombang elektromagnetik yang dipancarkan, kedudukan atau posisi radar dapat dilacak, diketemukan, dan dihancurkan.

Masih ada cara lain

Setiap pesawat tempur modern diterbangkan dengan teknologi maju. Banyak perangkat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan penerbang, mulai dari komputer sebagai alat pengendali, komunikasi radio, navigasi ataupun alat identifikasi diri berupa transponder IFF agar pesawat ini selalu ditengarai sebagai pesawat kawan oleh radar pertahanan udara kawan.

Meskipun pesawat siluman tidak memancarkan radar, tetap ada pancaran gelombang radio yang keluar darinya. Inilah yang jadi obyek penelitian untuk menemukan cara terbaik mendeteksi pesawat siluman saat ini.

Prinsip kerjanya cukup sederhana, setiap pesawat memiliki gelombang elektromagnetik yang terpancar. Sekecil apa pun pancaran gelombang itu akan dapat ditangkap dan diperbesar serta diolah sehingga menjadi masukan yang berharga dalam mendeteksi adanya sumber gelombang.

Dengan proses berikutnya dapat diketahui apakah sumber gelombang tersebut merupakan suatu target yang berbahaya atau tidak, untuk menentukan tindakan selanjutnya. Agar radar dapat menangkap gelombang elektromagnetik ini, diciptakanlah sebuah radar yang tidak memancarkan gelombang elektromagnetik, tetapi memanfaatkan limbah gelombang elektromagnetik atau gelombang radio yang terpaksa harus dikeluarkan oleh pesawat tempur lawan, termasuk pesawat siluman.

Teknologi ini dikenal dengan nama radar pasif, yaitu sebuah perangkat radar yang hanya terdiri dari receiver saja, atau radar yang sama sekali tidak mengeluarkan gelombang elektromagnetik. Dengan demikian, sulit untuk dapat dilacak di mana kedudukannya.

Receiver yang bekerja pada spektrum frekuensi 0,1 Ghz hingga 46 Ghz ini memungkinkan semua gelombang radio yang terpancar dari pesawat dapat ”didengar” serta diolah sehingga dapat dijadikan masukan yang sangat berarti.

Untuk itu, diperlukan tiga macam receiver yang diletakkan satu sama lain berjarak 30 km-50 km sehingga area yang ter-cover dapat mencapai jarak hingga 550 km dari titik pusat reciver yang diletakkan di tengah. Daerah liputan selebar 100 km x 550 km pun dapat terdeteksi dengan akurasi tinggi, sedangkan diluar itu toleransi kesalahan cuma satu kilometer.

Berbasis fiber

Apabila digabung dengan transmisi data berbasis fiber optik, data ini dapat dikirim ke pusat pengendalian pertahanan udara dan menjadikan satu jebakan pertahanan udara yang tidak dapat diendus musuh dengan cara apa pun, layaknya jebakan sarang laba laba.

Setiap sistem receiver dilengkapi dengan tiga macam antena, yaitu antena yagi untuk menangkap gelombang radio dengan frekuensi antara 0,1-0,8 Ghz, antena wide band dish untuk menangkap gelombang radio dengan frekuensi antara 0,85-40 Ghz, serta antena horn untuk menangkap gelombang radio dengan frekuensi antara 40-46 Ghz.

Karena dapat menangkap gelombang elektromagnetik dengan frekuensi mulai 0,1 GHz sampai 46 GHz, jebakan radar ini dapat menangkap sinyal mulai dari pesawat terbang yang terbang tinggi hingga kapal laut ataupun kapal selam, manakala sang kapal selam ini terpaksa harus mengirim sinyal untuk berkomunikasi atau bernavigasi lewat antena yang mencuat di atas permukaan laut.

Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, saat ini telah diciptakan satu sistem receiver dengan berat hanya sekitar 150 kilogram dan kebutuhan pasokan catu daya listrik tidak lebih dari 1.000 watt serta dapat digelar menggunakan tenaga manusia sehingga hanya perlu waktu kurang dari 30 menit untuk siap dioperasikan sebagai sistem pertahanan udara yang siap beroperasi.

Beberapa negara telah mengembangkan sistem yang telah terbukti andal dalam beberapa konflik terakhir dan terus berkompetisi dengan pengembang pesawat dan pengembang radar. Tetapi, yang jelas, sistem yang andal ini masih dapat tertembus juga oleh sebuah pesawat yang sama sekali tidak dilengkapi dengan peralatan komunikasi radio dan tidak memiliki alat navigasi elektronis serta diterbangkan secara manual.

Mungkin negara kita perlu juga mengadopsi teknologi ini untuk menambah kekuatan pengawasan ruang udara dan kekuatan deterrent kita. Di sisi lain, selain secara teknologi kita mampu, juga karena sifatnya yang pasif sehingga biaya pembuatan, operasi, dan perawatan pasti jauh lebih murah dibandingkan dengan hanya mengandalkan radar aktif.

F Djoko Poerwoko Marsekal Muda TNI/ Penerbang Uji